Kamis, 03 Desember 2015

dari cukup hingga belajar mencukupkan diri

Izinkan saya memperkenalkan diri saya. Saya Fortuna Widiastuti Hadayani, seorang gadis kelahiran tahun 1995 di sebuah kota yang tidak terlalu besar dan terkenal, Purbalingga. Jangan salah, Purbalingga berada di Jawa Tengah, bukan di Jawa Timur. Dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 3 orang kakak, saya sebagai anak bungsu tumbuh seperti anak tunggal karena ketiga orang kakak saya memiliki jarak usia yang cukup jauh dengan saya.
Sekarang ini saya sedang menempuh studi di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Karena kuliah di Jogja, secara otomatis saya tinggal jauh dengan orang tua, yaitu Ibu saya. Ya, Ayah saya sudah berpulang ke rumah Tuhan pada tahun 2009 silam. Sebagai anak terakhir yang masih bersekolah dan tinggal jauh dari orang tua, kehidupan saya sedikit banyak mengalami perubahan. Keadaan membuat saya menjadi pribadi yang lebih dewasa. Saya dituntut untuk dapat bertahan hidup dengan uang yang diberikan oleh Ibu saya. Walaupun di awal kuliah, uang bulanan saya tidak pernah kurang dan tidak pernah terlambat. Namun sekarang keadaan berubah. Uang bulanan tidak lagi menjadi uang bulanan. Kalau ada uang baru saya akan dikirimi uang. Jika tidak, ya ditunggu saja. Berat? Jelas berat. Bagi saya menjali kehidupan yang demikian tidaklah mudah. Ketiga kakak saya memang sudah bekerja semua, tapi mereka sudah memiliki keluarga masing-masing, tentu Ibu saya tidak bisa mengharapkan banyak dari mereka. Saya pun mau tidak mau berusaha untuk mencukupi kebutuhan saya sendiri di sini, karena saya mengerti bahwa saya harus bertanggung jawab atas pilihan yang sudah saya buat.
Pada akhirnya, sekitar bulan Maret lalu saya mendapatkan pekerjaan sambilan yang tidak membutuhkan mobilitas tinggi. Cukup dengan gadget yang saya miliki. Meskipun uang yang saya terima tidak seberapa, tapi saya bersyukur sudah bisa mendapat pekerjaan ini dan menjalaninya hingga saat ini. Selain bekerja dengan gadget yang saya miliki, selama satu bulan saya pernah menjadi karyawan di sebuah kedai minuman milik teman kampus saya. Gaji? Tidak seberapa. Karena merasa tidak betah, tidak produktif, dan mencoba mencari pekerjaan lain, saya memutuskan berhenti.
Uang yang saya terima dari pekerjaan part time saya memang tidak seberapa. Tapi saya sangat bersyukur saya memilih pilihan yang tepat. Ketika orang tua belum bisa memberi uang, saya masih memiliki tabungan "menyambung hidup". Sebenarnya saya ingin menabung uang yang saya miliki dengan jerih lelah saya sendiri. Namun entah bagaimana, uang yang sudah saya kumpulkan beberapa bulan terpaksa harus saya gunakan agar tetap dapat makan dan beraktivitas sebagai manusia. Menyalahkan orang tua? Sempat terpikirkan hal demikian. Tapi apa gunanya saya menyalahkan? Bukankah itu justru menjadi beban bagi beliau? Saya hanya berpikir bahwa Tuhan sedang mendidik saya bagaimana sulitnya mencari uang, menyimpan uang, dan mengelola uang. Saya yakin, ketika sudah dewasa nantinya, ketika saya sudah sukses kelak, saya akan lebih menghargai uang, lebih bisa mengelola uang dengan baik, dan lebih bersyukur lagi kepada Tuhan.